A. Pengertian Psikologi Gestalt
Psikologi Gestalt merupakan salah satu aliran psikologi yang mempelajari
suatu gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas, data-data dalam
psikologi Gestalt disebut sebagai phenomena (gejala). Phenomena adalah
data yang paling dasar dalam Psikologi Gestalt. Dalam hal ini Psikologi
Gestalt sependapat dengan filsafat phenomonologi yang mengatakan bahwa
suatu pengalaman harus dilihat secara netral. Dalam suatu phenomena
terdapat dua unsur yaitu obyek dan arti.
Obyek merupakan sesuatu yang
dapat dideskripsikan, setelah tertangkap oleh indera, obyek tersebut
menjadi suatu informasi dan sekaligus kita telah memberikan arti pada
obyek itu.
B. Tokoh –tokoh Gestalt
1. Max Wertheimer (1880-1943)
Max Wertheimer adalah tokoh tertua dari tiga serangkai pendiri aliran
psikologi Gestalt. Konsep pentingnya : Phi phenomenon, yaitu bergeraknya
objek statis menjadi rangkaian gerakan yang dinamis setelah dimunculkan
dalam waktu singkat dan dengan demikian memungkinkan manusia melakukan
interpretasi. Weirthmeir menunjuk pada proses interpretasi dari sensasi
obyektif yang kita terima. Proses ini terjadi di otak dan sama sekali
bukan proses fisik tetapi proses mental sehingga diambil kesimpulan ia
menentang pendapat Wundt.
Wertheimer dianggap sebagai pendiri teori Gestalt setelah dia melakukan
eksperimen dengan menggunakan alat yang bernama stroboskop, yaitu alat
yang berbentuk kotak dan diberi suatu alat untuk dapat melihat ke dalam
kotak itu. Di dalam kotak terdapat dua buah garis yang satu melintang
dan yang satu tegak. Kedua gambar tersebut diperlihatkan secara
bergantian, dimulai dari garis yang melintang kemudian garis yang tegak,
dan diperlihatkan secara terus menerus. Kesan yang muncul adalah garis
tersebut bergerak dari tegak ke melintang. Gerakan ini merupakan gerakan
yang semu karena sesungguhnya garis tersebut tidak bergerak melainkan
dimunculkan secara bergantian.
Pada tahun 1923, Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt dalam
bukunya yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”. Hukum-hukum itu
antara lain :
a) Hukum Kedekatan (Law of Proximity)
b) Hukum Ketertutupan ( Law of Closure)
c) Hukum Kesamaan (Law of Equivalence)
2. Kurt Koffka (1886-1941)
Koffka lahir di Berlin tanggal 18 Maret 1886. Sumbangan Koffka kepada
psikologi adalah penyajian yang sistematis dan pengamalan dari
prinsip-prinsip Gestalt dalam rangkaian gejala psikologi, mulai
persepsi, belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan
psikologi sosial. Teori Koffka tentang belajar didasarkan pada anggapan
bahwa belajar dapat diterangkan dengan prinsip-prinsip psikologi
Gestalt.
Teori Koffka tentang belajar antara lain:
a. Jejak ingatan (memory traces), adalah suatu pengalaman yang membekas di otak.
Jejak-jejak ingatan ini diorganisasikan secara sistematis mengikuti
prinsip-prinsip Gestalt dan akan muncul kembali kalau kita
mempersepsikan sesuatu yang serupa dengan jejak-jejak ingatan tadi.
b. Perjalanan waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan. Perjalanan waktu
itu tidak dapat melemahkan, melainkan menyebabkan terjadinya perubahan
jejak, karena jejak tersebut cenderung diperhalus dan disempurnakan
untuk mendapat Gestalt yang lebih baik dalam ingatan.
c. Latihan yang terus menerus akan memperkuat jejak ingatan.
3. Wolfgang Kohler (1887-1967)
Kohler lahir di Reval, Estonia pada tanggal 21 Januari 1887. Kohler
pernah melakukan penyelidikan terhadap inteligensi kera. Hasil kajiannya
ditulis dalam buku bertajuk The Mentality of Apes (1925). Eksperimennya
adalah : seekor simpanse diletakkan di dalam sangkar. Pisang digantung
di atas sangkar. Di dalam sangkar terdapat beberapa kotak berlainan
jenis. Mula-mula hewan itu melompat-lompat untuk mendapatkan pisang itu
tetapi tidak berhasil. Karena usaha-usaha itu tidak membawa hasil,
simpanse itu berhenti sejenak, seolah-olah memikir cara untuk
mendapatkan pisang itu. Tiba-tiba hewan itu dapat sesuatu ide dan
kemudian menyusun kotak-kotak yang tersedia untuk dijadikan tangga dan
memanjatnya untuk mencapai pisang itu.
Menurut Kohler apabila organisme dihadapkan pada suatu masalah atau
problem, maka akan terjadi ketidakseimbangan kogntitif, dan ini akan
berlangsung sampai masalah tersebut terpecahkan. Karena itu, menurut
Gestalt apabila terdapat ketidakseimbangan kognitif, hal ini akan
mendorong organisme menuju ke arah keseimbangan. Dalam eksperimennya
Kohler sampai pada kesimpulan bahwa organisme–dalam hal ini simpanse–
dalam memperoleh pemecahan masalahnya diperoleh dengan pengertian atau
dengan insight.
4. Kurt Lewin (1890-1947)
Pandangan Gestalt diaplikasikan dalam field psychology oleh Kurt Lewin.
Lewin lahir di Jerman. Mula-mula Lewin tertarik pada paham Gestalt,
tetapi kemudian ia mengkritik teori Gestalt karena dianggapnya tidak
adekuat. Lewin kurang setuju dengan pendekatan Aristotelian yang
mementingkan struktur dan isi gejala kejiwaan. Ia lebih cenderung kearah
pendekatan yang Galilean, yaitu yang mementingkan fungsi kejiwaan.
Konsep utama Lewin adalah Life Space, yaitu lapangan psikologis tempat
individu berada dan bergerak. Lapangan psikologis ini terdiri dari fakta
dan obyek psikologis yang bermakna dan menentukan perilaku individu
(B=f L). Tugas utama psikologi adalah meramalkan perilaku individu
berdasarkan semua fakta psikologis yang eksis dalam lapangan
psikologisnya pada waktu tertentu. Life space terbagi atas bagian-bagian
yang memiliki batas-batas. Batas ini dapat dipahami sebagai sebuah
hambatan individu untuk mencapai tujuannya. Gerakan individu mencapai
tujuan (goal) disebut locomotion. Dalam lapangan psikologis ini juga
terjadi daya (forces) yang menarik dan mendorong individu mendekati dan
menjauhi tujuan. Apabila terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium),
maka terjadi ketegangan (tension). Salah suatu teori Lewin yang bersifat
praktis adalah teori tentang konflik. Akibat adanya vector-vector yang
saling bertentangan dan tarik menarik, maka seseorang dalam suatu
lapangan psikologis tertentu dapat mengalami konflik (pertentangan
batin) yang jika tidak segera diselesaikan dapat mengakibatkan frustasi
dan ketidakseimbangan.
Berdasarkan kepada vector yang saling bertentangan itu. Lewin membagi konflik dalam 3 jenis :
a) Konflik mendekat-mendekat (Approach-Approach Conflict)
Konflik ini terjadi jika seseorang menghadapi dua obyek yang sama-sama bernilai
positif.
b) Konflik menjauh-menjauh (Avoidance-Avoidance Conflict)
Konflik ini terjadi kalau seseorang berhadapan dengan dua obyek yang
sama-sama mempunyai nilai negative tetapi ia tidak bisa menghindari
kedua obyek sekaligus.
c) Konflik mendekat-menjauh (Approach-Avoidance Conflict)
Konflik ini terjadi jika ada satu obyek yang mempunyai nilai positif dan nilai negative sekaligus.
D. Prinsip Dasar Gestalt
a. Interaksi antara individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual
field. Setiap perceptual field memiliki organisasi, yang cenderung
dipersepsikan oleh manusia sebagai figure and ground. Oleh karena itu
kemampuan persepsi ini merupakan fungsi bawaan manusia, bukan skill yang
dipelajari. Pengorganisasian ini mempengaruhi makna yang dibentuk.
b. Prinsip-prinsip pengorganisasian:
• Principle of Proximity : bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan
(baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai
satu bentuk tertentu.
• Principle of Similarity : individu akan cenderung mempersepsikan
stimulus yang sama sebagai suatu kesatuan. Kesamaan stimulus itu bisa
berupa persamaan bentuk, warna, ukuran dan kecerahan.
• Principle of Objective Set : Organisasi berdasarkan mental set yang sudah terbentuk sebelumnya.
• Principle of Continuity : Menunjukkan bahwa kerja otak manusia secara
alamiah melakukan proses untuk melengkapi atau melanjutkan informasi
meskipun stimulus yang didapat tidak lengkap.
• Principle of Closure/ Principle of Good Form : Bahwa orang cenderung
akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak
lengkap. Orang akan cenderung melihat suatu obyek dengan bentukan yang
sempurna dan sederhana agar mudah diingat.
• Principle of Figure and Ground : Yaitu menganggap bahwa setiap bidang
pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan ground (latar
belakang). Prinsip ini menggambarkan bahwa manusia secara sengaja
ataupun tidak, memilih dari serangkaian stimulus, mana yang dianggapnya
sebagai figure dan mana yang dianggap sebagai ground.
• Principle of Isomorphism : Menunjukkan adanya hubungan antara
aktivitas otak dengan kesadaran, atau menunjukkan adanya hubungan
struktural antara daerah-daerah otak yang terktivasi dengan isi alam
sadarnya.
E. Aplikasi Prinsip Gestalt
1. Belajar
Proses belajar adalah fenomena kognitif. Apabila individu mengalami
proses belajar, terjadi reorganisasi dalam perceptual fieldnya. Setelah
proses belajar terjadi, seseorang dapat memiliki cara pandang baru
terhadap suatu problem.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
a. Pengalaman tilikan (insight) : bahwa tilikan memegang peranan yang
penting dalam perilaku yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur
dalam suatu obyek atau peristiwa.
b. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning) : kebermaknaan
unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses
pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif
sesuatu yang dipelajari.
c. Perilaku bertujuan (purposive behavior) : bahwa perilaku terarah pada
tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons,
tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses
pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan
yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan
sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam
memahami tujuannya.
d. Prinsip ruang hidup (life space) : bahwa perilaku individu memiliki
keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi
yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi
lingkungan kehidupan peserta didik.
e. Transfer dalam Belajar : yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam
situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan
Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian
obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian
menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tatasusunan yang tepat.
Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas
dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum
(generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik
telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan
generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam
situasi lain.
2. Insight
Pemecahan masalah secara jitu yang muncul setelah adanya proses
pengujian berbagai dugaan/kemungkinan. Setelah adanya pengalaman
insight, individu mampu menerapkannya pada problem sejenis tanpa perlu
melalui proses trial-error lagi. Konsep insight ini adalah fenomena
penting dalam belajar, ditemukan oleh Kohler dalam eksperimen yang
sistematis.
Timbulnya insight pada individu tergantung pada :
a. Kesanggupan
Kesanggupan berkaitan dengan kemampuan inteligensi individu.
b. Pengalaman
Dengan belajar, individu akan mendapatkan suatu pengalaman dan pengalaman itu akan menyebabkan munculnya insight.
c. Taraf kompleksitas dari suatu situasi
Semakin kompleks masalah akan semakin sulit diatasi
d. Latihan
Latihan yang banyak akan mempertinggi kemampuan insight dalam situasi yang bersamaan
e. Trial and Error
Apabila seseorang tidak dapat memecahkan suatu masalah, seseorang akan
melakukan percobaan-percobaan hingga akhirnya menemukan insight untuk
memecahkan masalah tersebut.
3. Memory
Hasil persepsi terhadap obyek meninggalkan jejak ingatan. Dengan
berjalannya waktu, jejak ingatan ini akan berubah pula sejalan dengan
prinsip-prinsip organisasional terhadap obyek. Penerapan Prinsip of Good
Form seringkali muncul dan terbukti secara eksperimental. Secara
sosial, fenomena ini juga menjelaskan pengaruh gosip/rumor. Fenomena
gossip seringkali berbeda dengan fakta yang ada. Fakta yang diterima
sebagai suatu informasi oleh seseorang kemudian diteruskan kepada orang
lain dengan dengan dilengkapi oleh informasi yang relevan walaupun belum
menjadi fakta atau belum diketahui faktanya.
4. Implikasi Gestalt
a. Pendekatan fenomenologis : menjadi salah satu pendekatan yang eksis
di psikologi dan dengan pendekatan ini para tokoh Gestalt menunjukkan
bahwa studi psikologi dapat mempelajari higher mental process, yang
selama ini dihindari karena abstrak, namun tetap dapat mempertahankan
aspek ilmiah dan empirisnya. Fenomenologi memainkan peran yang sangat
penting dalam sejarah psikologi. Heidegger adalah murid Edmund Husserl
(1859-1938), pendiri fenomenologi modern. Husserl adalah murid Carl
Stumpf, salah seorang tokoh psikologi eksperimental “baru” yang muncul
di Jerman pada akhir pertengahan abad XIX. Kohler dan Koffka bersama
Wertheimer yang mendirikan psikologi Gestalt adalah juga murid Stumpf,
dan mereka menggunakan fenomenologi sebagai metode untuk menganalisis
gejala psikologis.
Fenomenologi adalah deskripsi tentang data yang berusaha memahami dan
bukan menerangkan gejala-gejala. Fenomenologi kadang-kadang dipandang
sebagai suatu metode pelengkap untuk setiap ilmu pengetahuan, karena
ilmu pengetahuan mulai dengan mengamati apa yang dialami secara
langsung.
b. Pandangan Gestalt menyempurnakan aliran behaviorisme: dengan
menyumbangkan ide untuk menggali proses belajar kognitif, berfokus pada
higher mental process. Adanya perceptual field diinterpretasikan menjadi
lapangan kognitif dimana proses-proses mental seperti persepsi,
insight,dan problem solving beroperasi. Tokoh : Tolman (dengan Teori
Sign Learning) dan Kohler (eksperimen menggunakan simpanse sebagai hewan
coba).
F. Hukum – hukum Belajar Gestalt
Dalam hukum-hukum belajar Gestalt ini ada satu hukum pokok , yaitu hukum
Pragnaz, dan empat hukum tambahan (subsider) yang tunduk kepada hukum
yang pokok itu, yaitu hukum–hukum keterdekatan, ketertutupan, kesamaan,
dan kontinuitas.
• Hukum Pragnaz
Pragnaz adalah suatu keadaan yang seimbang. Setiap hal yang dihadapi
oleh individu mempunyai sifat dinamis yaitu cenderung untuk menuju
keadaan pragnaz tersebut.
Empat hukum tambahan yang tunduk kepada hukum pokok, yaitu :
1. Hukum keterdekatan
Hal-hal yang saling berdekatan dalam waktu atau tempat cenderung
dianggap sebagai suatu totalitas. Contohnya : Garis-garis di atas akan
terlihat sebagai tiga kelompok garis yang masing-masing terdiri dari dua
garis, ditambah dengan satu garis yang berdiri sendiri di sebelah kanan
sekali.
2. Hukum ketertutupan
Hal-hal yang cenderung menutup akan membentuk kesan totalitas tersendiri. Contohnya :
Gambar garis-garis di atas akan dipersepsikan sebagai dua segi empat dan
garis yang berdiri sendiri di sebelah kiri, tidak dipersepsikan sebagai
dua pasang garis lagi setelah ada garis melintang yang hampir saling
menyambung di antara garis-garis tegak yang berdekatan.
3. Hukum kesamaan
Hal-hal yang mirip satu sama lain, cenderung kita persepsikan sebagai suatu kelompok atau suatu totalitas. Contohnya :
O O O O O O O O O O O O O
X X X X X X X X X X X X X
O O O O O O O O O O O O O
Deretan bentuk di atas akan cenderung dilihat sebagai deretan-deretan
mendatar dengan bentuk O dan X berganti-ganti bukan dilihat sebagai
deretan-deretan tegak.
4. Hukum kontinuitas
Orang akan cenderung mengasumsikan pola kontinuitas pada obyek-obyek
yang ada. Contohnya : Pada gambar diatas, kita akan cenderung
mempersepsikan gambar sebagai dua garis lurus berpotongan, bukan sebagai
dua garis menyudut yang saling membelakangi.
G. Penerapan Teori Gestalt dalam Proses Belajar
Sebelum membahas teori Gestalt dalam proses belajar ada baiknya membahas prinsip-prinsip belajar menurut teori ini yaitu:
a. Belajar berdasarkan keseluruhan
Orang berusaha menghubungkan pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lainnya.
b. Belajar adalah suatu proses perkembangan
Materi dari belajar baru dapat diterima dan dipahami dengan baik apabila
individu tersebut sudah cukup matang untuk menerimanya. Kematangan dari
individu dipengaruhi oleh pengalaman dan lingkungan individu tersebut.
c. Siswa sebagai organisme keseluruhan
Dalam proses belajar, tidak hanya melibatkan intelektual tetapi juga emosional dan fisik individu.
d. Terjadinya transfer
Tujuan dari belajar adalah agar individu memiliki respon yang tepat
dalam suatu situasi tertentu. Apabila satu kemampuan dapat dikuasai
dengan baik maka dapat dipindahkan pada kemampuan lainnya.
e. Belajar adalah reorganisasi pengalaman
Proses belajar terjadi ketika individu mengalami suatu situasi baru.
Dalam menghadapinya, manusia menggunakan pengalaman yang sebelumnya
telah dimiliki.
f. Belajar dengan insight
Dalam proses belajar, insight berperan untuk memahami hubungan diantar unsur-unsur yang terkandung dalam suatu masalah.
g. Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan dan tujuan siswa
Hal ini tergantung kepada apa yang dibutuhkan individu dalam kehidupan
sehari hari, sehingga hasil dari belajar dapat dirasakan manfaatnya.
h. Belajar berlangsung terus-menerus
Belajar tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di luar sekolah.
Belajar dapat diperoleh dari pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam
kehidupan individu setiap waktu.
TEORI PERMAINAN Z. P. DIENES
A. Teori Perkembangan Kognitif Dienes
Teori perkembangan kognitif melihat bahwa proses belajar seseorang
dilihat dari tingkat kemampuan kognitifnya, dalam proses belajar
mengajar tingkat kognitif menjadi suatu hal yang sangat penting, karena
kemampuan tingkat kognitif seseorang tergantung dari usia seseorang,
sehingga dalam pembelajaran pada orang dewasa berbeda dengan
pembelajaran anak-anak.
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan
perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar
teorinya bertumpu pada teori Pieget, dan pengembangannya diorientasikan
pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu
menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai
studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara
struktur-struktur dan mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara
struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau
prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan
dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau
obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila
dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam
konsep-konsep tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak,
karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan
matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Dalam mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.
Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru
perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari
bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini
tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan
semula..
B. Konsep-Konsep Matematika Menurut Dienes
Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari
dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6
tahap, yaitu:
Permainan Bebas (Free Play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan
konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap
belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan.
Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan
pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur
mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep
yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic,
anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal
tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.
Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti
pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu.
Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak
terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami
aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak
untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu.
Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep
tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan
memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang
dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik
memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman,
dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu. Contoh
dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk
kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk
kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya.
Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul
pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan
terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau,
kuning).
Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.
Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu
mengarahkan mereka dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk
permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat
abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan
dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan
persegi panjang yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat
yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok).
Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu.
Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam
situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini
bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian
struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep
yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya
diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif
seperti berikut ini.
Segitiga Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga
0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ….. diagonal ……. diagonal
Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan
simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari
kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut,
kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon
yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap
ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan
kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh
siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti
aksioma, harus mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema
tersebut. Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam
struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu
teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta
membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai
pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep
yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi
penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya
elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem
matematika. Dienes menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton)
berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang
lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara kongkret agar
konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa
materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment),
sehingga anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang
dapat mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi
(multiple embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian
abstraksi konsep.
Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan
lainya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual
variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai
pandangan yang berbeda-beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap
konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment)
juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel
matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas
mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep
yang lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang
diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami
konsep tersebut.
Berhubungan dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada
permainan yang terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini
menggunakan kesempatan untuk membantu anak didik menemukan cara-cara dan
juga untuk mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut
Dienes, adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran
tanda material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan
akhirnya memadukan simbolo – simbol dengan konsep tersebut.
Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada
anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi
melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih
melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya
sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan
kegiatan matematika ke satu bidang baru.
Sumber :
Octaria, Dina. 2012. Teori Belajar Gestalt. Online : (http://dinaoctaria.wordpress.com/2012/10/15/teori-belajar-gestalt/, diakses tanggal 10 Oktober 2013).
Hergenhahn, B.R., H. Olson, Matthew. 2008. Theories Of Learning Edisi Ketujuh. Kencana : Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar